Berita > Artikel

Usul Usil
Berbuat dan Berubah

Selasa, 19 Desember 2006 13:07:04
2044 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Oleh: Dede Isharrudin

Tepat saat pembukaan Asian Games Doha 2006 berlangsung, 1 Desember, saya terlibat diskusi menarik dengan para pendengar radio Elshinta. Temanya sudah tentu olahraga Indonesia serta prediksi prestasi di Doha 2006.

Karena menggunakan satelit, siaran Elshinta bisa menjangkau seluruh Nusantara. Wajar penelepon interaktif pun berasal dari Tangerang, Riau, Solo, Semarang, hingga Kaltim.

Intinya adalah semua pendengar peduli pada perkembangan olahraga nasional terkini. Meski sebagian besar pesimistis dengan hasil yang bakal dicapai di Qatar, dan itu sudah terbukti, tak sedikit pula masih menaruh perhatian karena hanya olahraga yang mampu menaikkan bendera Merah-Putih di luar negeri.

Pada kesempatan itu, saya juga ditanya berapa prediksi pribadi akan hasil di Doha kelak. Ketika itu, saya jawab di bawah empat medali emas dari yang ditargetkan KONI dan Kantor Menegpora. ''Tiga,'' jawab saya.

Alasannya saat itu, karena sehari-hari bergulat dengan informasi olahraga, saya katakan bahwa perkembangan olahraga di negara-negara pesaing sudah demikian cepat meninggalkan kita. Jangankan Asia. Di tingkat Asia Tenggara saja, langkah kita sudah kalah strategis.

Sebab kedua tak lain kompetisi. Hanya segelintir cabang yang berlaga di AG 2006 itu mengikuti kompetisi selevel dunia, minimal Asia. Taruhlah hanya bulutangkis, boling, dan angkat besi. Sementara itu, voli pantai atau karate dan taekwondo juga ikut kompetisi, tapi tidak kontinu dan sebatas menjelang AG sebagai bagian dari masa try out saja.

Jangka Panjang

Kini, ketika hasil akhir sudah diketahui bersama, bahkan lebih buruk dari prediksi, pasti langkah perbaikan harus dilakukan. Tapi, bagaimana? Saya sepakat dengan Menegpora bahwa cabang potensial harus diprioritaskan. Hal itu dikatakannya setelah melihat Malaysia dan Singapura, yang hanya mengandalkan beberapa cabang unggulan, mampu melewati Indonesia.

Hanya, sekali lagi, bagaimana caranya? Kita pernah punya milestone panahan di ajang Olimpiade. Tapi sejak Olimpiade Atlanta 1996, tak pernah lagi prestasi cabang itu terjaga. Kita bersyukur ketika angkat besi di dua Olimpiade terakhir mampu menyumbang medali. Tapi, melihat hasil di AG 2006 ini, di mana kita meraih sekeping perunggu, sementara negara lain begitu jauh di atas, bisa-bisa angkat besi di Olimpiade Beijing 2008 mirip panahan, yang hanya tinggal sejarah.

Jika mau memprioritaskan cabang andalan, totalitas dari pemerintah dan kompetensi program pada induk organsisasi (PB/PP) harus diutamakan. Jangan biarkan PB cabang prioritas berjalan sendiri. Munculkan sinergi agar semua pihak yang terlibat saling tahu tugas serta tanggung jawabnya.

Yang harus dipikirkan segera adalah bagaimana kita harus segera melapis sumber daya atlet terbaru demi memenangi persaingan di masa mendatang. Silakan saja jika ingin memprioritaskan cabang potensial. Tapi, jangan lupakan program yang sebenarnya lebih perlu dilakukan pemerintah, yakni melaksanakan pembinaan olahraga sejak dini atau tingkat dasar yang melibatkan sektor pendidikan.

Bagaimana Cina bisa maju dengan angkat besi atau senam serta banyak cabang lain tak lain karena sejak dini pendidikan olahraga sudah menjadi bagian di dalamnya. Vietnam pun kini sudah mengikuti jejak Cina lewat semacam program kebugaran fisik bagi anak-anak usia sekolah.

Sebagai pemacu, tak salah sih setelah kegagalan di Doha 2006 jika Presiden Yudhoyono meminta agar Indonesia bisa mencapai tiga besar di SEA Games 2007. Tapi, jika sekali lagi, tak banyak yang kita perbuat sepulangnya dari Qatar dan juga tak berubah pula perhatian pemerintah terhadap pembangunan olahraga nasional, kejadian ini selalu terulang.(bolanews.com)

Berita Artikel Lainnya