Berita > Artikel

Christian Hadinata
Kuasai SEA Games Lagi Sebelum Asia

Minggu, 24 Desember 2006 13:15:50
2144 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Kegagalan kontingen Indonesia di Asian Games Doha 2006 sudah sering dikomentari para pejabat olahraga. Mulai dari Menegpora hingga para petinggi KONI Pusat.

Lalu, bagaimana pandangan atlet, termasuk para mantan atlet yang di masa lalu pernah berulang kali mengibarkan bendera merah-putih di pentas AG? Apa pendapat mereka sehingga olahraga Indonesia makin terpuruk di level Asia, bahkan untuk Asia Tenggara sekalipun? Padahal, dulu kita pernah jadi yang disegani.

Berikut opini Christian Hadinata, mantan pebulutangkis nasional yang pernah meraih lima emas dari tiga perhelatan AG (1974-1982), kepada Rahayu Widiyarti.

****

''Jika ditanya kenapa Indonesia gagal di Doha, saya rasa itu karena kombinasi dari dua hal, yaitu negara lain yang makin maju dan kita yang hanya jalan di tempat. Ambil contoh bulutangkis. Dulu kita yang mendominasi, sedangkan Korsel masih belajar dari kita. Sekarang Korsel pun sudah maju, apalagi Cina.

Di putri dulu kita punya Susy Susanti, Mia Audina, Verawaty, dan Imelda Wigoena. Sekarang tidak ada lagi pemain yang seperti itu. Di putra juga, sekarang tak banyak stok di tunggal dan ganda dibanding zamannya Alan Budikusuma cs., di mana kita punya tujuh pemain dengan kualitas hampir sama sehingga bisa terjadi all-Indonesian final di Olimpiade 1992. Sekarang belum ada yang seperti mereka lagi. Jadi, itulah penyebab kegagalan kita, yaitu kombinasi dari kedua masalah di atas.

Soal persaingan sebenarnya dari dulu sudah berat. Zaman saya saja Cina punya Han Jian atau Luan Jin. Jadi, kalau dulu bisa dapat beberapa emas di bulutangkis bukan karena persaingan yang belum berat, tapi karena memang mampu dan berjuang untuk itu. Saat itu Cina juga sudah punya banyak pemain bagus.

Dari Asia Tenggara

Kalau membicarakan pembinaan, sebetulnya kegagalan kita sudah terlihat dari tingkat Asia Tenggara. Untuk menaikkan prestasi, kita harus membina cabang-cabang yang memperebutkan banyak medali agar hasilnya lebih bagus. Contohnya atletik, renang, dan menembak. Dari lima cabang yang banyak medali ini, Cina bisa mendapatkan 88 emas. Seharusnya hal itu bisa ditiru.

Ke depan, kita lebih baik bicara Asia Tenggara saja dulu. Kalau di Asia Tenggara saja belum bisa menguasai, kita bakal sulit bicara di level Asia.

Untuk cabang-cabang yang banyak medali, atlet harus disiapkan sebanyak dan sebaik mungkin. Bila dibina dan diiringi program yang lebih baik pula, kita tak akan terlalu terpuruk. Paling tidak empat atau lima emas untuk AG masih memungkinkan.

Banyak yang bilang regenerasi kita buruk. Itu benar, proses regenerasi kita memang tidak mulus. Program pembinaan dari tiap-tiap cabang bisa dikatakan jalan di tempat. Kalau kita masih mengandalkan atlet yang itu-itu saja, berarti ada sesuatu yang kurang pas. Jadi, harus dilihat macetnya di mana, sistem atau perekrutannya. Itu harus dicari penyebabnya.

Bibit sebenarnya banyak, tapi harus diperhatikan bagaimana cara merekrut dan proses menjadikannya sebagai atlet elite itu seperti apa. Pasti hal itu makan waktu. Tapi, kalau memang programnya bagus dan dijalankan oleh personel yang berkualitas, regenerasi bisa saja berjalan baik.

Contohnya dulu di bulutangkis, waktu zamannya Ketua Umum Try Sutrisno, kita punya dua lapisan pemain, yakni utama dan calon pengganti yang senior atau pratama. Begitulah dulu proses regenerasi di bulutangkis.

Sekarang pembagian itu tak ada lagi. Level atlet yang mau direkrut jadi jauh dengan yang senior sehingga konsentrasi pelatih pun terpecah-pecah. Seharusnya atlet-atlet terbaik itu ditangani oleh pelatih tersendiri, tidak bisa langsung digabung dengan yang baru direkrut karena jalannya memang seperti itu.

Cari Metode Baru

Bagaimana untuk ke depan? Untuk bulutangkis, metode pelatnas utama dan pratama mungkin bisa diadakan kembali guna menunjang proses regenerasi. Kita juga harus terus mencari cara bagaimana meningkatkan sumber daya manusianya, termasuk kepelatihan. Dulu proses pelatihan lebih menggunakan naluri atau insting, sekarang harus dilengkapi dengan faktor penunjang lain, seperti teknik dan juga nutrisi karena hal itu tak kalah penting.

Untuk AG empat tahun mendatang di Cina, kita harus lebih mempersiapkan diri. Segalanya mesti dibenahi dari level SEAG, bukan hanya bulutangkis, tapi juga cabang-cabang lain. Kualitas atlet-atlet di cabang-cabang yang memperebutkan banyak medali juga harus ditingkatkan. Atletik misalnya. Dulu kita bisa punya atlet-atlet berkualitas seperti M. Sarengat, Purnomo, atau Mardi Lestari, masak sekarang tidak mampu. Kalau kita bisa mendapat empat atau lima emas saja dari satu cabang, itu kan sudah lumayan.'' (bolanews.com)

Berita Artikel Lainnya