Berita > Artikel

Mereka Tak Lagi Menikmati Gelar Juara

Kamis, 11 Agustus 2005 08:45:08
2294 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

MANTAN petinju yang fisiknya kuat dan strategi bertarungnya teruji, sering kali harus tercampak menjadi penjaga keamanan di tempat hiburan.

Setelah kasus Ellyas Pical mencuat, diketahui kemudian sejumlah mantan petinju juga mengalami nasib yang sama dengannya. Selain dia, masih ada sederet lainnya, seperti dua mantan petinju nasional, Richat Dengkel yang menjadi kepala keamanan Diskotek Raja Mas, atau Didik Budi Santoso yang kini berseragam hijau muda, sebagai tenaga hansip (pertahanan sipil).

Ellyas Pical, mantan petinju yang sempat mengangkat nama Indonesia dengan jadi juara badan tinju IBF di era 90-an pun nasibnya bisa stragis itu, apalagi petinju lain atau atlet lain yang prestasinya tidak sehebat Elly. Apa boleh buat, setelah sekian tahun tenggelam, pamor Elly terangkat kembali, namun bukan karena prestasi olahraga tetapi karena kisah hidupnya yang berakhir tragis di balik jeruji akibat tuduhan sebagai pengedar pil ekstasi.

Tak hanya tenaga keamanan, tak sedikit mantan petinju yang malah menjadi penagih utang. Misalnya, Albert Resiley, yang berhasil merengkuh sabuk juara badan tinju IBF Intercontinental pada 1998 silam.

Dia mendapat kesadaran, kalau gelar juara yang diraihnya dengan bertaruh nyawa, tak menghasilkan apa pun bagi masa depannya. Hingga keputusan menjadi kepala keamanan perusahaan pun ditekuninya.

Untuk membayar rumah kontrakan pun, mereka kesulitan. Seperti dialami Nico Thomas, mantan pemegang gelar juara tinju kelas terbang mini versi IBF. Pada usinya yang hampir 40 tahun, bertanding tetap dilakoni, meski sebenarnya fisik tak lagi mendukung, demi bisa terus membayar harga sewa tempat bernaung keluarganya yang sekitar Rp 6 juta per tahun.

Padahal, profesi pelatih tinju sudah dijalani dia pada sasana tinju di kawasan Jakarta Selatan. Dua kali sehari di bertarung, namun pendapatannya tetap jauh dibawah nilai yang dia butuhkan demi menghidupi keluarga.




Gagal

Ada lagi kisah Nooke Balubun, mantan pelari yang kini tinggal berharap penghidupan dari keuntungan tiap botol minuman yang dijualnya, di kawasan Pintu I Senayan. Dia tak menyangka kerja kerasnya berlatih lari pada masa kecil, yang ingin membuahkan hasil yang membanggakan negaranya, ternyata hanya berujung pada keharusan kerja keras di masa pensiunnya.

Nasibnya seperti sepatu lari yang mengkilap saat baru, dan jadi usang selepas masa jaya. Peluh yang diseka Nooke Balubun sekarang ini, bukan lagi akibat usaha kerasnya berlari, seperti yang dilakukannya pada era 1980-an, tapi karena terik matahari, selama menjalankan usahanya berjualan minum kemasan dan rokok.

Prestasinya sebagai pelari 10K tidak sampai ke puncak. Prestasi yang bisa diraihnya, hanya juara ketiga lomba lari 10K di Malang. Sedikit sekali hasil yang bisa didapat, lalu ditabungnya pada saat masih aktif menjadi pelari.

Dia memang menjadi pelatih lari di PB Pasi. Tapi profesi pedagang asongan, harus ditekuninya lantaran honor yang tak seberapa sebagai pelatih.

Sempat dia mendapat penghasilan dari sponsor Bank BNI pada era 1990-an. Honor per bulan diterimanya, dengan adanya juga harapan bakal diangkat menjadi pegawai di BUMN itu.

Sayang, prestasi puncak tidak dia dapat, hingga niatannya itu tinggal kenangan, karena BNI meninggalkan dia tak lama kemudian.

Masih banyak lagi mantan atlet yang telah menunaikan tugas, sepenuhnya mengeluarkan upaya untuk mendapatkan prestasi. Sebagian dari mereka, baik yang berhasil meraih impian prestasi, apalagi yang gagal, kini terpuruk akibat minimnya perhatian dari pemerintah. (B-14)



Berita Artikel Lainnya