Jalu Triatmoko, demikian nama yang di berikan orangtuanya kepada remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah tingkat atas ini. Jalu tak seperti remaja lainnya yang memiliki anggota tubuh yang lengkap. Namun Jalu tak pernah merasa rendah diri meski hanya mempunyai lengan kiri. Torehan prestasi yang diraih, adalah ajang pembuktian dirinya.
Bukan mudah bagi Jalu menjalani amanat yang diberikan Tuhan kepadanya. Tak jarang cibiran, hinaan ia dapatkan. Tapi semuanya ia jalani dengan ikhlas. Termasuk saat dirinya harus menerima kenyataan pahit, dipandang sebelah mata oleh guru sekolahnya. Saat ia masih duduk di salah satu sekolah menengah pertama, ia berniat mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi sekolah agar dapat terdaftar pada kejuaraan bulutangkis antar sekolah.
''Waktu itu saya pengen ikut seleksi. Trus saya daftar ke guru olahraga,'' ujarnya.
Alih-alih bukan mendapat dukungan, Jalu malah mendapat ucapan yang tidak menyenangkan dari orang yang semestinya mangayomi siswanya.
''Kowe iso opo (kamu bisa apa –red),'' ceritanya.
Sikap merendahkan dirinya membuahkan rasa sakit hati Jalu. Sakit hati yang ia rasakan ia rubah menjadi tekad yang bulat. Ia sangat ingin membuktikan diri bahwa orang yang memiliki kekurangan seperti dirinya bisa berprestasi. Setelah itu ia pun berlatih lebih keras dan bahkan memilih berlatih di salah satu klub di Kediri.
Tak butuh waktu lama bagi Jalu pun mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan. Empat bulan berselang, ia bisa merebut juara II tingkat propinsi. Namun sayang, belum sempat ia membawa medali ke sekolah tempat ia belajar ia pindah sekolah pada saat kelas 2 SMP.
Tak hanya disitu, prestasi Jalu terus meroket. Berbagai gelar juara kelas paralimpic maupun umum sudah ia bukukan. Diantaranya ia sempat menjadi juara 1 Kejurnas Pelajar 2015, juara 1 Kejurda SeJawa timur, juara 3 O2SN SMA kota Kediri 2015.
Ada satu cita-cita yang saat ini ia impikan. Ia sangat ingin menjadi wakil merah putih di ajang internasional. Selain kesempatan yang belum ia dapatkan, kejuaraan khusus penyandang disabilitas sangat jarang di adakan.
''Kejuaraan paralympic itu jarang banget. Hanya ada beberapa dalam waktu dua tahun'', ungkapnya.
''Paling nanti saya menunggu Peparnas tahun 2020 di Papua,'' sambungnya.
Ada rasa yang menganjal di hati Jalu saat ini. Setelah ia pindah sekolah, ia belum sempat kembali bertemu kembali dengan mantan gurunya.
''Sampai hari ini saya belum bertemu lagi. Saya pengen kertemu. Pengen saya tunjukkan prestasi saya,'' paparnya. (Arief Rachman)