Hanya satu kata yang bisa menggambarkan suasana hati saya saat kemenangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di final BCA Indonesia Open Superseries Premier 2017 kemarin. Luar Biasa! Sebenarnya saya sempat speechless. Saya benar-benar tak mampu berkata apa-apa saat itu. Bahkan saya sempat meneteskan air mata haru kala setelah poin 21 diraih Tontowi/Liliyana. Sepanjang saya mengikuti sepak terjang idola saya sejak 2005 hingga sekarang, ini pertama kalinya saya meneteskan air mata atas kemenangan sang idola.
Saya benar-benar merasa terharu melihat perjuangannya yang tak kenal lelah dari tahun ke tahun dalam mewujudkan impiannya meraih gelar di rumah sendiri yang sudah lama tak kunjung tergenggam di tangannya sejak 12 tahun yang lalu dari sektor ganda campuran. Bahkan saat ia memenangi gelar kejuaraan dunia ataupun emas olimpiade, air mata saya anehnya tak menetes sedikitpun. Namun kali ini saya tak mampu membendungnya kala melihat Liliyana mengepalkan tangannya dengan gembira. Air mata saya menetes semakin deras kala melihat mata Liliyana yang berkaca-kaca saat diwawancarai usai pertandingan yang menggambarkan perjuangannya yang tak mudah, berkali-kali gagal di setiap ada kesempatan. Dan betapa bahagianya ia dengan kemenangan ini di tengah cedera lutut yang menerpanya.
Andai Liliyana kini berdiri di hadapan saya, ingin rasanya saya untuk membungkukkan badan dan meletakkan tangan di pelipis kanan sebagai bentuk rasa hormat yang begitu besar kepadanya. Seseorang yang saya kagumi sejak lama, bahkan ia menjadi role model saya dalam menjalani hidup. Semangat juang, kerja keras, pantang menyerah dan motivasinya, selalu menjadi inspirasi saya. Sebenarnya ada banayk kata-kata yang ingin saya tuliskan untuk menggambarkan betapa bahagia dan bersyukurnya saya bisa mengagumi seorang Liliyana Natsir. Tapi rasanya seperti tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan apa yang saya rasakan saat ini.
Liliyana di pertandingan final benar-benar tampil luar biasa. Di tengah terpaan cedera lutut yang tidak ringan, ia masih mampu menjadi andalan. Bahkan cedera lutut yang sebenarnya cukup parah itu tidak mampu menghalangi semangat juangnya untuk membela negara. Melihat semangat juangnya di lapangan Liliyana seolah ingin mengisyaratkan bahwa hanya kematianlah yang bisa memisahkannya dari bulutangkis yang memang sangat dicintainya. Secara jujur saya katakan, berdasarkan pengamatan saya selama Liliyana bertanding di BCA Indonesia Open Superseries Premier 2017 dengan total hadiah yang sungguh "Wow" sebesar USD 1,000,000, pertandingan final kemarin menjadi pertandingan terbaiknya. Meski dengan lutut yang masih cedera, kemampuan Liliyana yang begitu magis di depan net justru mencapai puncaknya. Chen Qingchen yang sudah berlabel playmaker berbakat masa depan dan menduduki No. 1 dunia dibuat mati kutu. Mungkin Chen Qingchen menang kecepatan dari Liliyana yang jauh lebih senior darinya, tetapi tidak dengan kemampuan mengolah bola di depan net serta placingnya.
Melihat pertandingan final yang berlangsung di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre, Jakarta, kemarin, saya seperti melihat Liliyana yang dulu. Saat ia masih muda. Saat ia berada di puncak kariernya. Saat ia benar-benar menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun lawannya. Mungkin itu juga alasannya mengapa saya meneteskan air mata karena saya merasa seperti melihat keluarga yang mudik pulang ke rumah setelah sekian lama berkelana tanpa kabar. Ada rasa khawatir, cemas dan juga rindu yang memenuhi hati saya. Secara jujur sebenarnya saya sejak awal sedikitpun tidak mengharapkan Liliyana untuk meraih gelar juara karena saya tidak ingin membebani idola saya mengingat cedera lutut yang dialaminya. Bagi saya, kesembuhannya adalah yang paling utama karena saya masih ingin bisa terus melihatnya di lapangan.
Sepanjang pertandingan final kemarin doa yang saya panjatkan bukanlah supaya Liliyana bisa menjadi juara. Saya berdoa semoga lutut Liliyana tidak bertambah parah saat serta usai berlaga di final kemarin. Bahkan sebenarnya saya sempat tidak ingin menonton pertandingan finalnya karena saya tidak sanggup melihat Liliyana dibully oleh Zheng Siwei/Chen Qingchen yang memang terkenal sebagai pasangan ganda campuran dengan permainan cepatnya. Bahkan menurut saya sepanjang saya mengikuti bulutangkis sejak saya masih SD, Zheng Siwei/Chen Qingchen merupakan ganda campuran dengan permainan tercepat yang pernah saya lihat. Mereka begitu lincah bergerak kesana kemari untuk melancarkan serangan-serangan demi menekan lawan layaknya ganda putra kita, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Saya tidak sanggup jika melihat Liliyana harus memaksakan diri bergerak kesana kemari demi meladeni permainan lawan untuk meraih poin.
Ternyata Liliyana tetaplah Liliyana, seseorang yang saya kenal tidak pernah merasa takut dan gentar siapapun lawannya. Bahkan dengan kondisi tidak prima pun ia masih mampu menggetarkan lawannya. Ia tetap tenang meladeni permainan juniornya. Tidak terhitung berapa kali permainan net Liliyana menghasilkan pancingan maut serta poin langsung untuk Indonesia. Tidak hanya Liliyana yang tampil luar biasa, pujian yang sama juga ingin saya hadiahkan kepada Owi. Dengan besar dan ringan hati saya katakan bahwa saya mengakui kemampuan Owi dalam hal mengcover lapangan, yang selama ini selalu saya kritik terutama pada kelincahan kakinya. Memang sempat terlintas rasa khawatir bahwa Owi akan gagal mengemban tugas super berat untuk mengcover tiga perempat lapangan demi mengurangi beban Liliyana agar cedera lututnya tidak bertambah parah. Ternyata Owi berhasil melewati ujian itu dan membuktikannya dengan gelar juara.
Disamping pujian untuk Owi dan rasa hormat saya untuk Liliyana, respek saya juga ingin saya hadiahkan kepada Zheng Siwei/Chen Qingchen karena sudah berusaha tampil maksimal. Saya yakin setelah pertandingan kemarin, mereka pasti mendapatkan banyak pelajaran dari Owi/Liliyana. Dan sudah seharusnya pelajaran yang sama tidak hanya dipetik oleh lawan, tapi juga dari pemain-pemain kita terutama yang berkecimpung di sektor ganda campuran. Jika saya menjadi mereka, saya udah melakukan pedekate dengan Liliyana untuk meminta masukannya bahkan kalau perlu saya ikuti apapun yang menjadi aktivitasnya sehari-hari (diluar dari aktivitas keagamaan) agar saya bisa mendapatkan hasil yang paling tidak mendekati sama dengan Liliyana.
Sejujurnya setelah hasil buruk yang kita raih di Sudirman Cup lalu, saya sangat berharap ada sedikit suasana ‘cerah’ melalui ajang BCA IOPSS 2017 ini. Sejujurnya lagi saya sebenarnya sangat menantikan penampilan-penampilan bagus dari beberapa pemain andalan kita, khususnya Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi, Praveen Jordan/Debby Susanto dan Kevin/Gideon. Tapi sayang banget mereka justru tersingkir terlalu cepat. Justru diluar dugaan, malah Fajar Alfian/ Muhammad Rian Ardianto yang kecipratan sinar terang dengan berhasil melangkah ke babak semifinal turnamen berhadiah total USD 1,000,000. Saat pemain Indonesia banyak bertumbangan di babak-babak awal BCA IOPSS tahun ini, membuat saya tidak tahan lagi untuk memberikan kritik yang kalau biasanya saya berusaha untuk menyamarkan rasa agar tetap bisa terasa manis. Kini saya akan sedikit menrubah rasanya dengan menambahkan bumbu cabe merah, merica dan cabe rawit agar rasanya menjadi lebih ‘pedas’.
Bicara tentang prestasi pemain-pemain kita akhir-akhir ini memang akan banyak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menyalahkan namun tidak sedikit yang membela pemain kesayangannya. Sangat butuh kehati-hatian dan ketenangan dalam berpikir dan mengamati apa yang sebenarnya terjadi pada para atlet bulutangkis kita. Sebuah kesalahan (kegagalan) tidak hanya terjadi karena satu faktor mutlak saja, begitu juga dengan sebuah keberhasilan. Banyak faktor yang mempengaruhi itu semua. Memutar kembali memori kita akan Sudirman Cup lalu, banyak sekali yang menyebutkan bahwa faktor susunan pemain, terutama saat bermain melawan India, menjadi urutan pertama faktor kegagalan kita saat itu. Saya pun tidak memungkiri bahwa saya juga memiliki pemikiran yang sama. Ditambah lagi ada unsur kesalahan di sisi pemain yang turun serta pemilihan strategi permainan dimana mereka tidak bisa mengeluarkan semua kemampuan terbaiknya. Dari sini kita, termasuk PBSI, bisa mengambil pelajaran bahwa sangat penting untuk memperhitungkan segala hal, sebesar atau sekecil apapun itu, meski kita punya amunisi dan peluang untuk menang. Tidak menganggap remeh dan selalu rendah hati terhadap lawan yang akan dihadapi juga menjadi kunci lain yang tidak boleh dilupakan.
Bicara tentang rendah hati membuat saya teringat dengan Kevin/Gideon yang dimata beberapa teman-teman kurang memiliki rasa rendah hati. Rasa rendah hati selalu diidentikkan dengan sikap yang cenderung kalem alias tidak banyak tingkah. Sebenarnya jika dalam kehidupan sehari-hari, kalimat tadi memang tepat untuk menggambarkan rasa rendah hati yang sebenarnya. Namun jika kita bicara dalam dunia olahraga, bisa jadi interpretasi dan implementasinya akan sedikit berbeda bagi beberapa orang. Rendah hati pada dasarnya bukanlah sebuah hal yang berwujud yang terlihat oleh mata. Ia hanya bisa dirasakan oleh hati. Saya tidak menyalahkan teman-teman yang mungkin masih menganggap bahwa mereka belum memiliki rasa rendah hati. Tapi saya juga tidak ingin berprasangka buruk pada mereka.
Gestur yang ekspresif di lapangan seperti berteriak kencang di depan lawan sambil menatap lawan (bukan ke penonton ya), sering diartikan sebagai gestur yang overactive yang dinilai sebagai bentuk dari rasa tinggi hati oleh beberapa teman-teman. Di satu sisi mungkin itu memang terlihat tidak salah. Tapi jika kita melihat ke sisi lain, sebenarnya gestur-gestur seperti itu sangat membantu untuk menaikkan semangat dan rasa percaya diri pemain untuk keluar dari rasa tertekan untuk memenangkan pertandingan. Saat mereka merasa tertekan sebenarnya secara tidak sadar itu menandakan bahwa mereka memiliki rasa waspada yang tinggi pada lawan. Dengan kata lain itu berarti mereka sama sekali tidak memandang remeh lawan. Memang tidak semua orang berpikir dan melakukan hal yang sama dengan yang lain (baca : kita). Setiap orang punya cara tersendiri bagaimana mengatasi rasa tertekan serta bagaimana memposisikan dan mengekspresikan rasa hormat dan rendah hati terhadap lawan.
Mungkin jika menyimak tulisan saya ini mulai dari atas, saya terkesan seperti membela (membenarkan) tindakan Kevin/Gideon. Sebenarnya tidak juga. Di sisi hati saya yang lain, saya juga ingin Kevin/Gideon bisa sedikit menurunkan ekspresivitasnya di lapangan untuk menghormati lawan. Seperti teman-teman yang lain, saya juga merasa alangkah indahnya jika Kevin/Gideon bisa mengambil satu sifat air, tampil tenang namun bisa menghanyutkan dan menenggelamkan lawan. Mungkin Kevin/Gideon bisa melihat lagi video mereka ketika di semifinal All England lalu dimana mereka bisa menaklukkan Duo Mads dengan ketenangan mereka setelah sebelumnya gagal mengambil game pertama dengan ekspresivitasnya. Mungkin mereka bisa melihat bahwa saat mereka tenang seperti air, kemampuan mereka justru sangat ciamik yang banyak mengundang komentar positif dan decak kagum terutama dari Oma Gill dan Om Steen.
Tapi balik lagi saya berusaha menghormati karakteristik dari setiap pribadi mahluk-mahluk Tuhan. Jika memang itu yang membuat mereka nyaman, saya pun tidak mempermasalahkannya sepanjang itu bisa bikin mereka semangat dan percaya diri dalam meraih kemenangan. Toh, ternyata seperti yang tertera di beberapa media bahwa salah satu faktor kekalahan mereka adalah karena Kevin sedang cedera selain karena lawan yang mereka hadapi memang bukan lawan yang bisa dianggap enteng. So, lebih baik kita doakan supaya Kevin lekas sembuh sehingga bisa mewujudkan satu impiannya yang sempat ia sebutkan usai menjadi juara All England lalu bahwa ia ingin menjadi juara dunia.
Bicara tentang cedera Kevin, membuat saya ingin mengingatkan PBSI bahwa mohon sangat berhati-hati dalam memilih turnamen untuk para pemain. Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, tapi saya menduga bahwa cedera yang dialami Kevin salah satu faktornya adalah kelelahan akibat padatnya jadwal pertandingan yang diikuti, belum lagi dengan latihan yang juga tidak ringan. Permohonan ini saya buat bukan hanya untuk Kevin saja tapi untuk semua atlet bulutangkis kita yang menjadi andalan negara. Tidak hanya Kevin, hal yang sama juga terjadi pada Liliyana. Apalagi sekarang Liliyana sudah tidak muda, sementara pelapis di bawahnya belum ada yang mendekati setara dengannya. Melihat kenyataan itu saja, meski tidak terlihat atau terucap, dengan kata lain Indonesia masih membutuhkan jasanya. Tidak hanya sebagai penyumbang gelar juara tapi sebagai mentor bagi junior-juniornya. Untuk itu, saya sangat berharap PBSI bisa sangat memperhatikan permohonan ini.
Bicara Liliyana, takkan bisa lepas dari sektor ganda campuran yang saat ini di mata saya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Sempat menemukan secercah harapan yang sebelumnya sempat memudar dengan ciamiknya penampilan Praveen/Debby saat tampil di Sudirman Cup lalu, kini harapan itu kembali memudar lagi dengan kalahnya mereka di babak satu BCA IOPSS tahun ini. Sudah satu setengah tahun Praveen/Debby tampil labil dan kurang meyakinkan. Sekali lagi saya katakan bahwa tidak ada yang salah dengan skill dan kemampuan mereka. Katakanlah mereka masih tampil sama seperti sebelum-sebelumnya tapi sekarang sudah banyak lawan yang bisa mengalahkan mereka, itu menandakan bahwa mereka harus segera berinovasi mencari strategi atau kemampuan bahkan kelebihan-kelebihan baru yang lebih memukau lagi supaya mereka bisa bangkit dari keterpurukan mereka saat ini.
Sebenarnya tidak hanya Praveen/Debby saja yang bernasib muram, hampir seluruh punggawa ganda campuran memiliki nasib yang sama. Sudah banyak yang mengatakan bahkan sudah mengarahkan telunjuk pada satu pihak terkait dengan suramnya sektor ganda campuran bulutangkis kita. Tadinya saya berusaha untuk tidak langsung mengarahkan telunjuk saya pada satu pihak tersebut. Saya mencoba mengamati dan memperhatikan faktor-faktor lain selain faktor yang satu itu. Tapi tampaknya saya mulai merasakan banyak hal yang tidak bisa saya bendung lagi saat melihat nasib ganda campuran kita seperti ini yang akhirnya membuat saya menyerah dan mulai mengarahkan telunjuk saya pada satu pihak tersebut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa beliau sudah lama ada di dunia ganda campuran kita. Tidak sedikit prestasi yang beliau torehkan bagi Indonesia. Terlepas dari suramnya hasil yang diraih ganda campuran kita akhir-akhir ini, saya tetap ingin memberikan apresiasi saya kepada beliau yang sudah mengorbankan banyak hal demi bulutangkis Indonesia. Saya tidak bisa menghentikan perasaan saya untuk sependapat dengan teman-teman disini bahwa melihat hasil ganda campuran kita yang suram akhir-akhir ini saya rasa ada baiknya memang ada semacam pergantian suasana di sektor ganda campuran bulutangkis kita. Siapa tahu dengan pergantian suasana ini bisa menciptakan atmosfer baru yang lebih segar yang membuat sektor ganda campuran bisa lebih bersemangat dan menggeliat lagi seperti dulu. Tidak hanya dari sisi pelatih saja, namun juga dari sisi pemain.
Sejak dulu saya sudah pernah katakan bahwa secara materi, sektor ganda campuran ini sangat berlimpah dengan talenta-talenta luar biasa yang pernah menjuarai event-event internasional baik itu saat masih junior ataupun saat naik kelas ke senior dengan berbagai level kejuaraan. Namun entah kenapa sekarang mereka seperti melempem. Setelah sekian lama dengan pasangan yang sama mereka masih berkutat di posisi yang itu-itu saja, sementara rekan-rekan seangkatan mereka dari negara lain sudah mulai maju dan melesat meninggalkan mereka yang masih saja jalan di tempat.
Dalam hidup, terutama di zaman sekarang, memang kita dituntut untuk lebih mandiri dan mengenal diri sendiri agar bisa mencapai kesuksesan. Tapi terkadang ada di beberapa hal dan kesempatan, kita butuh orang lain sebagai katalis atau bahkan sebagai sakelar agar kita bisa melangkah lebih tinggi untuk mendekati tangga kesuksesan. Entah itu dalam bentuk masukan atau bantuan langsung. Sama seperti dalam kehidupan dimana manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam permainan ganda, seorang pemain selalu butuh partner agar bisa meraih kesuksesan. Partner ini tidak hanya berfungsi sebagai penutup setengah lapangan yang lain tapi juga sebagai pelengkap agar sebuah pasangan bisa menjadi sempurna dan tampil luar biasa.
Memang pasti pada awalnya perjalanan menuju kesempurnaan tidak ada yang mulus. Tidak ada kesempurnaan pada percobaan pertama. Seorang ilmuwan jenius sekelas Thomas Alva Edison saja butuh 99 kali kegagalan untuk bisa mencapai 100% kesempurnaan pada percobaan yang ke-100 dalam membuat lampu pijar. So, dalam bulutangkis, satu, dua, tiga atau bahkan empat kali kegagalan dalam mencari pasangan yang tepat bukanlah hal yang aneh. Saya rasa semua pasangan ganda campuran, bahkan termasuk Owi (usai Liliyana pensiun), harus terus dibongkar pasang hingga mereka bisa menemukan pasangan yang memang sempurna untuk permainan mereka.
Tidak hanya bongkar pasang di satu sektor saja, tidak ada salahnya jika mereka bisa bermain antar sektor (bermain rangkap) agar pemain dan pelatih bisa benar-benar melihat dan merasakan dimana posisi dan tempat yang tepat untuk mereka bermain. Terkadang kita tidak pernah tahu rasanya (hasilnya) kalo kita tidak pernah mencoba. Mungkin kalimat ini bisa ditujukan ke mereka. Dunia junior dan senior sebenarnya sangat jauh berbeda, begitupun dengan tingkat persaingan dan tekanannya. Bisa jadi saat junior mereka tidak begitu menyukai ganda campuran karena merasa kurang nyaman. Begitu juga dengan sebaliknya. Tetapi belum tentu hal yang sama terjadi saat mereka masuk ke kelas senior. Apalagi kalo saat mereka mencoba ternyata mereka bisa mendapatkan prestasi disana, bisa jadi mindset mereka akan berubah. Kita bisa liat contohnya bahwa tidak sedikit para pemain tunggal beralih sektor ke ganda padahal awalnya mereka merasa nyaman bermain di tunggal karena tidak perlu untuk bergantung atau berbagi dengan orang lain. Tetapi lihatlah ketika mereka mulai mendapatkan prestasi di tempat yang baru, rasa nyaman itu mulai datang dengan sendirinya.
Jadi sebenarnya ini semua adalah masalah mindset saja. Jika pelatih sebagai orang yang dituakan disana bisa memberikan masukan yang baik pada anak didik mereka dan meyakinkan mereka bahwa potensi mereka sebenarnya sangat berharga dan bisa dimanfaatkan di banyak tempat maka saya rasa para pemain mungkin bisa sedikit tergugah sehingga mau mencoba. Bermain rangkap memang memiliki dilemanya tersendiri. Saya sebenarnya tidak menentang bagi pemain yang ingin fokus ke satu sektor. Tapi sekali lagi yang pernah saya katakan di tulisan saya sebelumnya tentang bermain rangkap, bahwa jika dengan fokusnya mereka ke satu sektor bisa membawa prestasi maka itu tidak menjadi masalah. Liliyana Natsir bisa menjadi contoh bagaimana dengan fokusnya ia di satu sektor, ia bisa menghasilkan limpahan prestasi yang luar biasa padahal ia sangat bisa bermain di dua sektor sekaligus.
Bermain rangkap bukan hanya soal skill ataupun bakat alam, tapi ada hal lain yang sebenarnya harus dihasilkan dari usaha yang tidak kecil. Mereka harus ekstra kerja keras dalam latihan, fokus, energi bahkan waktu mereka. Jika semua pihak (faktor) bisa mendukung, membantu dan bahu membahu mewujudkan hal ini bagi mereka yang menginginkan, saya rasa sebenarnya mereka bisa. Jika salah satu pihak (faktor) tidak mendukung, memang program seperti ini akan sulit terwujud. Sekarang Kabid Binpres PP PBSI, Susi Susanti, sudah mencanangkannya di depan media. Ketika seseorang yang berposisi di atas sudah memberikan aturan atau perintah, maka sudah seharusnya orang-oarang yang berada di bawah bisa melaksanakannya dengan baik.
Kalau teman-teman baca seluruh tulisan saya kali ini lebih banyak berkutat pada 2 sektor saja, ganda putra dan ganda campuran. Ya, dua sektor ini memang menjadi sektor favorit saya sejak dulu karena tipikal permainannya yang selalu atraktif dan tidak membosankan. Meski 3 sektor lain bukan favorit saya tapi saya tetap memperhatikan perkembangan mereka. Terlepas dari 2 sektor ini yang menjadi favorit saya, alasan saya ingin membahas lebih rinci adalah karena 2 sektor ini yang memperlihatkan tanda-tanda penurunan dengan hanya memiliki satu andalan padahal 2 sektor ini sangat diandalkan untuk mempertahankan nama Indonesia agar tetap bisa disegani di dunia.
Di babak satu BCA IOSSP 2017 ini saja sudah banyak pasangan kita baik itu dari ganda campuran dan ganda putra yang bertumbangan. Kalo tadi di awal-awal tulisan saya lebih banyak membahas masalah non-teknis, kini saya ingin sejenak membahas masalah teknis. Suramnya prestasi 2 sektor ini menurut saya secara garis besar memiliki alasan yang sama, yaitu lebih menitik beratkan pada satu pola permainan. Jika di ganda putra lebih banyak bertumpu pada permainan bola-bola kecil atau bola-bola depan, maka di ganda campuran adalah putrinya yang kurang fleksibel, atau kalo make kata temen-teman forum diskusi Bulutangkis.com, istilahnya ‘matung’.
Memang, di ganda campuran pada hakikatnya pemain putri lebih banyak fokus di depan lapangan. Tapi itu bukan berarti pemain putri ganda campuran diharamkan untuk berada di belakang lapangan. Sebenarnya tidak masalah jika memang ingin tetap terus berada di depan, asalkan memang bisa menguasai permainan lapangan depan sehingga bisa menghasilkan bola-bola empuk untuk disantap sang partner di belakang. Contohnya saja Liliyana Natsir.
Terlepas dari kondisinya saat ini yang masih dalam penyembuhan cedera ataupun tidak, Liliyana Natsir memang sangat hobi bermain di depan. Tapi Liliyana tidak pernah diam di tempat. Ia selalu berusaha untuk bergerak kesana kemari demi menciptakan peluang yang enak yang bisa disantap oleh partnernya meski dalam kondisi lutut yang belum prima. Bahkan ia tak ragu untuk ditarik ke belakang. Meski seringkali dianggap lemah, namun penempatan bolanya saat ia berada di belakang selalu tepat yang ujung-ujungnya berhasil menciptakan peluang untuk mendulang angka. Makanya jangan heran jika ia sangat diakui sebagai salah satu playmaker putri terbaik di dunia sehingga tak jarang lawan lebih memilih untuk menghindari bermain-main di depan net dengannya.
Masalahnya adalah banyak dari pemain putri ganda campuran kita belum menguasai permainan lapangan depan dengan baik. Meski bermain di area depan lapangan bukan berarti harus meminggirkan kelincahan. Yang harus adik-adik ganda campuran kita ketahui adalah dimanapun posisi kalian bermain, kelincahan tetap menjadi salah satu faktor penting dalam kesuksesan meraih peluang dan poin. Memang kelincahan sangat diidentikkan dengan ukuran atau berat badan yang kecil. Okelah, tidak masalah jika badan kalian membesar dan alangkah lebih baiknya jika besarnya badan kalian terisi oleh otot, bukan lemak. Tapi bukan berarti kelincahan kalian menjadi berkurang juga. Yang penting adalah kekuatan dan ringannya kaki dalam melangkah.
Lihatlah Yu Yang atau Wang Xiaoli, mereka berbadan besar tapi tetap lincah bahkan dengan berat badan mereka yang besar mereka justru memanfaatkannya untuk bisa memiliki power yang baik. Jika adik-adik atlet ganda campuran tidak bisa menurunkan berat badannya, saya berharap bahwa mereka bisa sadar diri untuk setidaknya harus meningkatkan kelincahan serta powernya.
Okelah, saya mungkin mengambil contoh dari luar. Ada Apriani sebagai contoh dari dalam yang akhir-akhir ini menjelma menjadi rising star bulutangkis Indonesia setelah Kevin. Badannya juga tidak bisa dibilang kecil tapi kegesitannya di lapangan sangatlah bagus. Belum lagi semangatnya yang pantang menyerah yang membuatnya bisa cepat melejit melewati teman-teman seangkatannya saat ini. Melihat permainan Apriani akhir-akhir ini membuat saya seperti melihat Liliyana Natsir di masa lalu saat berpasangan dengan Nova Widianto pada medio tahun 2004 – 2005. Ada semangat, ambisi, visi dan determinasi dalam setiap permainannya. Hal-hal seperti ini akhirnya membuat kerja seorang Greysia Polii sebagai mentor tidaklah begitu sulit.
Apriani bisa diibaratkan seperti sebuah meja dengan desain yang bagus yang terbuat dari kayu yang berkualitas baik, maka Greysia hanya sebuah taplaknya yang berfungsi untuk memperindah meja agar elok dipandang mata. Maka jangan heran jika mereka bisa menjadi Juara di ajang Thailand Open GPG 2017 lalu. Menurut saya untuk saat ini pemain seperti Apriani lebih baik jangan dipasangkan dulu dengan pemain-pemain sebayanya karena pemain ini sangat butuh dibimbing oleh orang yang sudah memiliki pengalaman untuk bisa memoles atau membentuk sedikit lagi karakter serta permainannya supaya nanti kelak kesuksesannya bisa berlangsung lama.
Teman-teman forum diskusi Bulutangkis.com sempat memberikan saran agar Apriani bisa bermain rangkap. Saya pribadi setuju dengan usul itu. Namun kembali lagi kepada sang pemain apakah ia ingin dan sanggup atau tidak. Secara kemampuan menurut saya Apriani mampu untuk itu. Seperti yang saya bilang di awal bahwa saya melihat ada kemiripan antara Liliyana dan dirinya. Mungkin skillnya masih di bawah Liliyana, tapi semangat dan determinasinya saya rasa hampir sama bahkan mengalahkan beberapa seniornya di ganda campuran. Ada juga yang bilang bahwa sebaiknya Apriani dipasangkan dengan Praveen supaya bisa cetar membahana. Saya sempat membayangkannya dan rasanya sih. kayaknya bakal bagus. Hanya saja saya memiliki kekhawatiran jika mereka dipasangkan.
Di tulisan saya sebelumnya saya sempat utarakan bahwa Praveen butuh partner yang salah satu syaratnya adalah harus punya semangat, determinasi dan ambisi agar Praveen bisa terangkat motivasi, semangat dan juga mentalnya. Apriani punya syarat itu. Tapi Apriani ini tergolong pemain yang baru saja menapaki kerasnya persaingan dunia bulutangkis level senior. Jadi kekokohan semangat, ambisi, visi dan determinasi belum begitu teruji karena ia belum banyak menikmati kerasnya persaingan di level elit dunia. Sebenarnya Praveen memiliki kemampuan leadership yang baik, yang terkadang terlihat saat ia berkomunikasi dengan Debby. Tapi saya masih khawatir apakah kemampuan leadership yang dimiliki oleh Praveen saat ini bisa menjadi pelengkap bagi Apriani nanti. Hanya saja kombinasi Praveen/Apriani tidak ada salahnya untuk dicoba, siapa tahu hasilnya baik.
Kalau tadi saya bicara tentang ganda campuran, sekarang saya ingin sedikit membahas tentang ganda putra. Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya bahwa Indonesia selalu menjadi pelopor perubahan pola permainan dalam bulutangkis terutama di sektor ganda putra. Bahkan di kancah perbulutangkisan dunia, Indonesia memang terkenal dengan kekuatannya pada bola-bola kecil atau bola-bola depan yang sebenarnya tidak hanya ada pada permainan ganda namun juga permainan tunggal. Permainan bola-bola kecil inilah yang selalu menjadi andalan kita dalam meraih poin.
Untuk mengalahkan ganda dari Indonesia mudah saja, kurangi atau tutup peluang ganda kita untuk memainkan bola-bola kecil. Dengan itu secara perlahan ganda kita akan dibuat frustasi dan tidak berkembang permainannya yang berakibat pada kekalahan. Rata-rata ganda putra kita, terutama yang level senior, memiliki pola bermainan dengan kekuatan di bola-bola depan. Seluruh ganda putra kita harus mewaspadai ini. Itulah sebabnya kenapa saat ini ganda tipe all-around lebih menuai sukses ketimbang ganda tipe spesialisasi karena jika permainan depan sudah mati maka pemain belakang terasa seperti tidak ada apa-apanya meski memiliki power.
Namun saya melihat ada perbedaan pada satu ganda ini, Mohammad Ahsan/Rian Agung Saputro. Semakin kesini saya melihat pasangan ini seperti tidak punya pola atau lebih tepatnya identitas sebagai pasangan. Jika Kevin/Gideon sangat terkenal dengan permainan drive cepat dan atraktifnya, Angga/Ricky dengan placing-placingnya, maka Ahsan/Rian justru terlihat biasa saja padahal mereka berdua bukan pemain kemarin sore. Meski begitu ada sedikit kesamaan antara Angga/Ricky dan Ahsan/Rian. Salah satu dari mereka benar-benar sangat berfungsi sebagai andalan di berbagai posisi di lapangan, yaitu Angga dan Ahsan. Seperti yang pernah saya bahas sebelumnya bahwa di antara Angga dan Ricky, kemampuan permainan depan net lebih unggul dan smes Angga lebih bertenaga meski awalnya Angga adalah sebagai playmaker ketimbang Ricky yang lebih rapih dalam bertahan meski dulunya banyak berkutat sebagai penggebuk.
Kondisi sama namun ada yang agak sedikit berbeda juga terjadi pada Ahsan/Rian. Kedua pemain sama-sama lebih banyak bermain sebagai penggebuk di masa lalu namun saat bermain di area depan net, Ahsan jauh lebih unggul ketimbang Rian. Begitupun dengan kekuatan smesnya. Jadi jika Angga dan Ahsan berada di depan, maka terjadi kekhawatiran di bagian belakang yang dijaga oleh Ricky dan Rian. Begitupun sebaliknya. Jika Angga dan Ahsan di belakang, maka bagian depan mulai menimbulkan rasa was-was.
Sempat terpercik harapan saya kala melihat Angga/Ahsan dipasangkan saat turnamen pemanasan untuk persiapan Sudirman Cup di Pelatnas Cipayung lalu. Saya berharap bahwa dipasangkannya Angga dan Ahsan bisa membuka peluang kita untuk membentuk satu pasangan tangguh lagi yang bisa menemani Kevin/Gideon untuk menghadapi kerasnya persaingan ganda putra dunia. Bahkan di postingan saya sebelumnya saya sempat berharap akan bisa melihat penampilan mereka walau hanya untuk sekali saja. Namun harapan ya tinggal harapan, kita justru sudah tersingkir sangat awal. Meski begitu bukan berarti harapan saya langsung punah. Harapan itu tetap ada, meski kayaknya kalaupun itu terjadi masih dalam waktu yang tidak dekat.
Saya melihat pasangan Angga/Ahsan memiliki prospek yang baik. Sama-sama sudah mahir bermain di depan dan di belakang. Jadi masing-masing dari mereka tidak perlu merasa khawatir jika melakukan rotasi dalam permainan karena kemampuan mereka yang sama bagusnya baik itu sebagai playmaker ataupun penggebuk. Okelah, kalo untuk dalam waktu dekat akan sulit terwujud mengingat akan ada kejuaraan dunia yang akan diadakan sebentar lagi. Dan sayapun masih oke-oke saja kalo nanti mereka tidak dipasangkan segera setelahnya dengan alasan bongkar pasang alias gonta-ganti pasangan untuk mencari yang terbaik.
Namun tiba-tiba saya teringat 7 tahun yang lalu pada Asian Games 2010 di Guangzhou, China. Saat itu Ahsan secara mendadak dipasangkan dengan Alvent Yulianto, mengingat saat itu prestasi Ahsan bersama dengan Bona sedang jalan di tempat. Saya ingat saat itu kombinasi ini dibentuk bukan untuk mendegradasi Bona atau dibuat sebagai pasangan permanen. Mereka benar-benar pasangan dadakan yang dibentuk hanya untuk mengamankan jalan sektor bulutangkis kita meraih medali bersama dengan Markis Kido/Hendra Setiawan. Dan hasilnya mereka berdua berhasil meraih medali dengan 1 emas (Kido/Hendra) dan 1 perunggu (Ahsan/Alvent). Saat itu tidak ada yang menyangka bahwa Ahsan/Alvent bisa meraih medali mengingat persaingan ganda putra saat itu tidak kalah ketatnya dengan persaingan ganda putra saat ini. Keberhasilan mereka membuat mereka kembali menjadi andalan saat Sudirman Cup 2011 bahkan mereka berhasil mengalahkan Boe/Mogensen yang saat ini menjadi momok besar bagi Kevin/Gideon. Sayang, mengingat usia dan posisi Alvent sebagai pemain profesional yang berkarir di luar pelatnas membuat pasangan ini tidak bisa dipermanenkan.
Saya sempat berpikir bahwa kita bisa menciptakan memori 7 tahun lalu dengan memasangkan Angga dan Ahsan. Apalagi mereka berdua sama-sama berada di Pelatnas Cipayung sehingga kendala-kendala yang pernah ada saat Ahsan berpasangan dengan Alvent tidak lagi hadir diantara mereka. Melihat hasil pemanasan kemarin saat mereka harus kalah ketat dengan tiga game membuat harapan yang saya miliki bukanlah kosong belaka. Saya pikir jika PBSI mau menerima masukan ini, tidak ada salah mereka dicoba di beberapa kejuaraan untuk melihat sejauh mana mereka bisa melangkah usai kejuaraan dunia di Glasgow nanti. Toh, ajang sangat prestisius lain yang harus dikejar selain kejuaraan dunia tahun depan adalah Thomas Cup dan Asian Games yang kebetulan diadakan di rumah kita sendiri.
Mengingat suramnya perkembangan bulutangkis kita saat ini jangan sampai membuat kita tidak berhasil mengulangi hal-hal indah yang terjadi di Asian Games sebelumnya. Sebelumnya sektor ganda putra hanya berhasil meraih 1 emas lewat Ahsan/Hendra, sementara Angga/Rian saat itu tidak mampu menyentuh babak semifinal. Kini kita hanya punya satu andalan yang penampilannya masih meyakinkan, Kevin/Gideon. Kita masih butuh satu pasangan lagi yang bisa menemani Kevin/Gideon untuk merebut medali emas yang tersedia di Asian Games nanti. Semoga PBSI bisa segera melakukan perubahan agar kesuraman perkembangan bulutangkis kita bisa sirna secepat mungkin. (Lily Dian)