Berita > Artikel

Bulutangkis Junior Babak Belur

Senin, 25 Juli 2005 14:35:54
3469 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Bulutangkis Junior Babak Belur
Oleh Wartawan Pembaruan Bernadus Wijayaka

Hasil buruk kembali diderita tim junior Indonesia. Di harapan pendukungnya sendiri, pada Kejuaraan Asia Junior, akhir pekan lalu, putra putri Indonesia gagal total. Jangankan juara, ke final pun tidak. Baik, di beregu maupun perorangan.

Kegagalan calon jagoan masa depan tersebut tidak hanya di situ. Sebelumnya, tahun lalu mereka juga gagal total di kejuaraan yang sama, di Korea.

Kegagalan secara tim tidak saja dialami tahun ini. Tim putra meraih gelar juara pada 1999 dan 2002. Selebihnya hanya mencapai final dan semifinal. Tim putri lebih buruk, mereka paling baik hanya merebut runner up, pada 1997 dan 1999.

Hasil terbaik Indonesia ditunjukkan Bellaetrix Mannuputty dan Fauzi Adnan yang berlaga di nomor tunggal putri dan putri, serta ganda putri Greysia Polii/Nitya Krishinda yang mencapai babak semifinal.

Kejuaraan itu pun akhirnya menjadi milik Cina dan Korea. Final dikuasai dua negara itu. Seperti di bagian seniornya, tunggal putri dikuasai pemain Cina. Final melibatkan Wang Lin dan Wang Yihan yang dimenangi Lin. Di tunggal putra, pemain Cina Li Qicheng menempati posisi terhormat setelah menang atas Hong Ji-hoon dari Korea. Prestasi Qicheng meningkat tajam. Pada saat kejuaraan Milo Junior Indonesia Open (MJIO) tahun lalu di Medan dia hanya mencapai babak kedua. Satu pekan sebelumnya, dia juga hanya meraih babak yang sama di Kejuaraan Asia. Saat kalah di Medan itu, dia sempat menangis hingga akhirnya menjadi juru rekam bagi rekan-rekan dan lawan-lawan yang sedang bertanding. Kini, dia menjelma menjadi salah satu pemain yang layak diperhitungkan di masa mendatang.

Di bagian ganda putri duel juga melibatkan Cina dan Korea. Ganda Cina Cheng Shu//Liao Jingmei menjadi yang terbaik dengan mengalahkan ganda Korea Ha Jung-eun/Hong Soo-jung.

Yang paling bahagia mungkin pemain Korea Lee Yong-dae. Pemain ini merebut dua gelar, ganda putra dan campuran. Bersama Chon Gun-woo, mengalahkan Shen Ye/Xhang Wei di ganda putra. Dan di ganda campuran, bergandengan dengan Hae Jung-eun, menundukkan Zhang Wie/Liao Jingmei.

Lee Yong-dae mempunyai pukulan yang sangat istimewa. Power-nya begitu besar. Tahun, di MJIO, bahkan dia tampil di tiga nomor, tunggal dan ganda putra, serta ganda campuran. Ketiganya mencapai semifinal. Dia meraih satu gelar di ganda putra.

Bahkan, pemain ini disebut-sebut sebagai Kim Dong-moon masa depan. Kim merupakan salah satu pemain besar Korea yang berjaya di ganda putra (bersama Ha Tae Kwon) dan campuran dengan Ra Kyung-min. Kim tahun lalu merebut medali emas Olimpiade ganda putra, sedangkan bersama Ra, dia merebut berbagai gelar juara. Bahkan, pada 2002, mereka merebut 12 gelar juara di berbagai turnamen.

Saya gembira dengan apa yang diraih anak-anak. Tentu saja saya mengharapkan mereka akan menjadi pemain yang sukses di masa mendatang bagi Korea, kata Presiden Federasi Bulutangkis Internasional (IBF) Kang Young-joon, yang juga dari Korea.

Meskipun gagal merebut satu gelar pun, pelatih putra Bambang Supriyanto mengatakan, hasil yang diraih para pemainnya tidaklah buruk. Sebab, jam terbang dan persiapan yang dilakukan para pemain Indonesia kurang dibanding dengan tim lain.

Tim Indonesia menjalani latihan hanya selama sekitar satu setengah bulan. Bandingkan dengan tim Korea yang mempersiapkan diri hingga lebih dari setahun. Oleh karena itu, dia berharap agar Pelatnas junior berdiri sendiri, tidak digabung dengan yang lain. Pelatnas seperti itu juga dilakukan di era masa lalu, seperti yang dialami Bambang.

Lain lagi dengan pendapat pelatih tunggal putri Hendrawan. Dia tidak menolak bila dikatakan kualitas para pemain Indonesia di bawah pemain Cina dan Korea. Faktanya memang begitu. Dalam final lima nomor yang dipertandingkan, hanya ada dua negara yang berlaga, Cina dan Korea.

Kejuaraan Asia tersebut merupakan cerminan kekuatan bulutangkis dunia di masa mendatang, meskipun itu tidak mutlak. Ada satu negara non-Asia yang bagus, Denmark. Hendrawan yakin, alumni dari kejuaraan tersebut akan menjadi bintang masa mendatang.

Jauh sih enggak, tetapi memang kita ketinggalan, di hadapan pendukung sendiri, yang justru masuk final Cina dan Korea. Kita tidak bisa sama sekali. Kita harus akui mereka punya materi lebih bagus, kata Hendrawan, yang satu anak buahnya Rosaria Pungkasari tampil dalam kejuaraan tersebut.

Tugas berat memang harus diemban Hendrawan agar bisa memajukan bulutangkis Indonesia, terutama di tunggal putri. Kita harus bergerak cepat untuk mengejar ketertinggalan kita, katanya.

Apa yang dikatakan Hendrawan tentang juara Asia bakal menjadi bintang masa depan memang benar. Tengok saja pemain seperti Chen Hong yang merupakan juara junior 1997. Kini, dia menjadi pemain papan atas dunia. Contoh lain, Lin Dan, juara 2001 yang menjelma menjadi pemain nomor satu dunia. Di sektor putri, ada Gao Ling. Saat di junior dia tampil di tiga nomor. Tunggal, ganda, dan campuran. Ketiganya mencapai final. Hanya di nomor tunggal yang dia gagal. Namun, berbeda dengan Indonesia. Pemain yang dimasa junior berjaya, justru kini tidak terdengar lagi gaungnya, seperti Ardiansyah, Ignatius Rudy, Henry, Wandry, dan Endra Feryanto.


Berbenah

Memang, mau tidak mau Indonesia harus berbenah. Dari pemain-pemain yang tampil di Kejuaraan Asia tersebut, Indonesia berharap penuh, masa depan bulutangkis ada di tangan mereka. Namun, bila mereka dibiarkan tidak diurusi secara serius, sudah pasti akan semakin jauh tertinggal dari Cina dan Korea.

Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI), seperti dikatakan wakil ketua umum Ferryal Sofyan, akan mengadakan semacam training center (TC) untuk para pemain junior yang terpisah dengan Pelatnas senior.

Memang kita ketinggalan, para pemain Cina dan Korea itu merupakan calon andalan mereka masa mendatang. Begitu juga kita. Harus ada langkah nyata yang harus kita lakukan untuk mengejar mereka. Kita akan bikin pemusatan. Detailnya akan segera digodok. Setelah selesai turnamen antar-pusdiklat, bulan depan, katanya.

Menurut Ferryal, TC tersebut berada di luar Pelatnas. Bila benar begitu, berarti mereka mempunyai hak untuk mencari sponsor sendiri. Ini seperti di Cina. Tim junior Cina menggunakan sponsor sendiri, Kason, sebuah produk olahraga dari Cina, sedangkan tim senior memakai Yonex. Lain dengan Indonesia, semua dana diambil dari sumber yang sama, Pelatnas, yang mendapat dukungan penuh dari Yonex.

Itu ide yang bagus. Mungkin kita akan melakukan hal serupa, katanya.

Itu memang harus dilakukan PBSI. Saat ini, banyak produk milik putra Indonesia, seperti Astec, Fly Power, atau yang lain. Siapa tahu mereka mau dan peduli. Sebab, dua produk tersebut milik bekas pemain Indonesia, Alan Budikusuma dan Susy Susanti (Astec) dan Hariyanto Arbi dan Fung Permadi (Fly Power).*

sumber:www.suarapembaruan.com


Berita Artikel Lainnya