Berita > Artikel

Jika Habis Manis Sepah Dibuang

Jumat, 12 Agustus 2005 07:24:14
11023 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Kalau Anda berkendara di Bulevar Kelapa Gading, Jakarta Utara, jangan kaget bila melihat panti pijat ini. ”Fontana”, Reflexology and Sport Massage, Managed by Susi Susanti & Elizabeth Latif. ”Lho”? Bukannya dulu Susi peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992, dan Ice (panggilan Elizabeth Latif) bintang bulu tangkis? Apa hubungan mereka dengan panti pijat?

Bukan cuma Susi dan Ice yang ”banting setir” ke dunia bisnis, setelah pensiun dari panggung olahraga prestasi. Bintang bulu tangkis asal Bandung, Ivana Lie, atau bintang tenis masa lalu, Yayuk Basuki, pun berbisnis. Hanya saja, dua atlet terakhir itu sebenarnya masih aktif bergiat di dunia olahraga, walau tak lagi sebagai atlet.

Bila sempat mampir di pertokoan depan perumahan Bali View, Cirendeu, selatan Jakarta, ada gerai pakaian olahraga. Nama gerai dan mereknya kedengaran aneh, Whybe. Ini gerai baju olahraga milik Yayuk Basuki, petenis asal Yogyakarta yang pernah menembus perempat final (delapan besar) turnamen tenis akbar Wimbledon (1997). Yayuk juga pernah empat kali lolos babak keempat turnamen paling bergengsi di London itu pada tahun 1992, 1993, 1994, dan 1995.

”Biar cuma bikinan Rancaekek (Jawa Barat), kualitasnya sama dengan baju-baju olahraga bermerek terkenal. Hanya beda labelnya saja,” ungkap Yayuk.

Selain kualitas eksklusif berharga menengah, sekitar Rp 40.000-Rp 180.000, ada juga kualitas biasa yang banyak dipesan berbagai instansi pemerintah dan bank. Yayuk juga mendapat pesanan dari tim-tim yang bertanding dalam pekan olahraga daerah di Indonesia.

Kenapa Whybe? Ini ucapan Inggris inisial nama diri Yayuk Basuki. Whybe adalah YB, singkatan nama Yayuk Basuki.

Bagaimana dengan Ivana Lie? Namanya pun terpatri pada merek pakaian olahraga bikinan keluarganya di Bandung, Elvana. Namanya juga melekat di gedung bulu tangkis Elvana di Bandung Timur yang memiliki empat lapangan tertutup, tempat Ivana dan para asisten membina pemain-pemain cilik.

”Sekarang sih (kostum olahraga, tas) tinggal 30-40 persen jika dibanding dulu. Di Jakarta juga tinggal kecil-kecilan, ada di Mangga Dua, Kelapa Gading. Setelah krisis (krisis ekonomi 1998), usaha kami menyusut. Apalagi tantangan kini banyak sekali, produk dari China harganya murah. Saya bersyukur, masih bisa eksis,” tutur mantan andalan Indonesia yang dulu dikenal stylish permainannya di karpet hijau bulu tangkis ini.

Usaha garmen Elvana di Bandung dipercayakan kepada kakak-kakak Ivana, Cucu dan Dede, serta adiknya, Mimi. Pada masa jaya dulu, Elvana mampu menyerap sekitar 150 tenaga kerja (warga sekitar pabrik), kini tinggal sekitar 50 orang.

Belakangan, Ivana tak lagi melatih di pelatnas. Ia bergiat dengan badmini, gagasan memopulerkan bulu tangkis mini (seperti sepak bola mini, tenis mini) yang diperuntukkan bagi anak- anak agar minat mereka terhadap bulu tangkis bersemi.

Usaha patungan

Jika bisnis Yayuk dan Ivana masih berhubungan dengan dunia mereka dulu, maka tidak demikian dengan Susi dan Ice. Mereka bikin usaha patungan yang menyediakan jasa pijat bagi orang lelah, atau tertarik urat setelah berolahraga. Selain pemijatnya profesional, punya sertifikat dari Pusat Kesehatan Olahraga (PKO), juga tempat pijatnya asri, tidak remang-remang.

”Di lantai bawah ada 11 (tempat pijat), di atas ada lima kamar untuk pijat seluruh badan. Kita juga siap buka cabang, setidaknya di tiga kota,” ungkap Ice. Dulu, nama usaha ini Nirvana. Setelah setahun, mereka ganti Fontana, karena nama Nirvana sudah dipatenkan orang lain.

”Sengaja kami cantumkan managed by Susi Susanti & Elizabeth Latif supaya orang tahu tempat pijat ini bukan tempat pijat ”miring”. Kami kan olahragawan,” tutur Susi, peraih emas tunggal putri bulu tangkis Olimpiade 1982 Barcelona.

Usaha panti pijat itu dimulai dari iseng. Susi, yang tinggal sekompleks dengan Ice di kawasan Kelapa Gading, kebetulan ngobrol seusai bermain bulu tangkis dua tahun lalu. Ice mengajak Susi berpatungan membuat usaha pijat. Alasannya, banyak teman-teman yang mengeluh tak tahu harus pijat ke mana jika keseleo.

”Kami pun coba-coba bikin tempat pijat sebulan kemudian,” tutur Susi yang juga punya usaha bersama suaminya, Alan Budikusuma (peraih medali emas bulu tangkis di Olimpiade Barcelona 1982).

Bisnisnya dengan Alan berupa produksi perlengkapan olahraga (tas, pakaian, sepatu olahraga, raket) merek Astec, kependekan dari gabungan nama mereka, Alan Susi Technology. Jika Alan mencurahkan perhatiannya pada Astec, maka Susi lebih pada panti pijat. Mereka juga mendapat hak pengelolaan sebuah gedung bulu tangkis di Kelapa Gading yang dibangun di atas tanah milik Angkatan Laut.

”Sebenarnya sudah sejak tahun 1994 (masih aktif main) saya punya usaha, waktu itu tempat senam, ketika orang lagi senang senam Jane Fonda. Saya juga punya usaha periklanan, bersama abang saya,” kata Ice menambahkan.

Tak ada pensiun

Mengapa para atlet hebat pada masanya itu kini berbisnis? Baik Yayuk, Ice, maupun Susi senada ungkapannya, habis manis, sepah dibuang. Ketika jaya, mereka disanjung puja, tetapi ketika sudah tak berprestasi lagi di lapangan, mereka dilupakan orang. Artinya, kebesaran jasa mereka tak berbalas gaji.

Saat Susi dan Alan berprestasi hebat, sebagai orang pertama Indonesia yang meraih medali emas dalam olimpiade, mereka dipuja. Bahkan, mereka mendapat limpahan hadiah uang, masing-masing sekitar Rp 500 juta dari Rp 1 miliar yang dijanjikan. Tetapi setelah itu? Mereka tak bisa mengharapkan gaji atau pensiun karena berjasa.

Mereka boleh iri terhadap para peraih medali emas Olimpiade dan atlet berprestasi dunia dari Korea Selatan dan China yang mendapat pensiun seumur hidup. Gelimang uang bagi atlet Indonesia hanya saat mereka berprestasi. Setelah itu, silakan cari sendiri.

Yayuk Basuki merasa masih beruntung. ”Tidak dapat pensiun dari negeri sendiri, saya malah dipensiun WTA (Persatuan Tenis Dunia),” kata Yayuk.

Tak hanya itu, sejak Juni lalu Yayuk juga diminta Federasi Tenis Internasional (ITF) menjadi pelatih ITF bersama Frank Zlezak (Ceko) dan Clement N Goran (Perancis). Mereka melatih para pemain pilihan berusia di bawah 16 tahun dari Afrika Selatan, Kirgistan, Indonesia, India, dan Filipina.

Persatuan Tenis Dunia (WTA) memotong hadiah uang turnamen dari pemain-pemain anggotanya, sekitar tujuh persen. Sekitar dua persen di antara potongan itu dialokasikan untuk jaminan pensiun pemain. Sebagian malah dijalankan atau diinvestasikan WTA dalam aktivitas perdagangan saham (stock exchange).

”Sempat merugi sekitar 30.000 dollar saat peristiwa 11 September di AS,” kata Yayuk. Hanya saja, untuk memperoleh pensiun dari WTA diperlukan syarat yang tak mudah. Pemain setidaknya lima tahun berturut- turut harus bertahan dalam peringkat 50 besar dunia.

”Saya bisa bertahan 10 tahun,” tutur Yayuk yang prihatin dengan kenyataan ”habis manis sepah dibuang” pada dunia olahraga Tanah Air.

Inilah kenyataan yang membuat setiap atlet atau calon atlet tak mantap melangkah demi prestasi olahraga. Ketika tak lagi berprestasi, mereka gundah, bahkan merana. Petinju juara dunia masa lalu, Ellyas Pical, merasakannya.


oleh: Jimmy S Harianto
sumber:www.kompas.com

Berita Artikel Lainnya