OLAH raga bulutangkis termasuk salah satu cabang olah raga tua yang hadir di belantara olah raga dunia. Tetapi, siapa sangka olah raga ini masih asing bagi sebagian besar telinga masyarakat AS.
Selama ini bulutangkis lebih dikenal sebagai permainan di halaman belakang rumah (backyard games). Kalau pun saat ini mengalami pekembangan, itu karena kehadiran para kaum pendatang, terutama dari Asia. Tak heran, di tim AS yang tampil di Kejuaraan Dunia 2005, sebagian besar kekuatan utama mereka adalah para pendatang dari Asia seperti Tonny Gunawan, Khan Bob Malaythong, Raju Rai, Eric Go, Ronald Sou, Mesinee Mangkalakiri.
Padahal kalau kita membuka kembali perjalanan sejarah bulutangkis dunia, bulutangkis AS pernah ikut meramaikan peta kekuatan bulutangkis internasional, terutama di sektor putri. Tim putri AS pernah merebut Piala Uber pada tahun 1957 dan 1960.
Sementara di sektor tunggal putri, prestasi pemain mereka justru lebih hebat dibanding tunggal putri Indonesia. Jika Indonesia hanya menempatkan Susi Susanti sebagai juara All England 1990, 1991, 1993 dan 1994, AS pernah memperlihatkan dominasinya di sektor tunggal putri dengan merebut gelar juara dari tahun 1952 hingga 1967 (kecuali tahun 1965).
Jika melihat pada karakteristik olah raga yang digandrungi masyarakat di AS, sebenarnya bulutangkis juga memiliki aspek-aspek yang bisa membuat masyarakat di AS menyenanginya.
Selama ini olah raga yang banyak digemari masyarakat di negara ''Paman Sam'' tersebut adalah olah raga yang menyuguhkan aspek-aspek atraktif dan kecepatan, seperti yang diperlihatkan di cabang olah raga bola basket, rugbi, bisbol, tenis atau tinju.
Padahal bulutangkis diklaim sebagai olah raga yang memiliki pukulan raket paling cepat yakni lebih dari 320 kilometer per jam. Permainan ini juga sering menyuguhkan pemandangan atraktif seperti jumping smash, atau cover lapangan yang cukup memikat.
Banyak penonton tuan rumah yang sengaja datang ke ''Arrowhead Anaheim'' (tempat berlangsungnya Kejuaraan Dunia 2005), tercengang dengan pemandangan di hadapan mereka. Dengan raket seberat 3,5 ons di tangan, para pemain terbaik dunia berlaga di lapangan dengan atraktif. Mereka melompat, kemudian maju dan mundur, ke kiri atau ke kanan. Gerakkan ini jauh lebih cepat dibanding hal yang sama dilakukan di cabang tenis lapangan.
''Benar-benar olah raga yang membutuhkan usaha dan kemampuan untuk bisa terlibat di dalamnya,'' ujar penonton, David Turner.
Walau demikian, untuk mendatangkan orang-orang seperti Turner ke pinggir lapangan, tidaklah mudah bagi pihak panpel Kejuaraan Dunia 2005. Mereka terpaksa harus menjual tiket ke komunitas Asia di kawasan Orange County dan Los Angeles. Itu pun dilakukan melalui klub-klub rekreasi, bahkan melalui gereja.
''Kamu tidak bisa mengharapkan penonton penuh,'' ujar Manajer Anaheim Arena, Mike O’Donnell. ''Kami juga mendapat bantuan dari IBF, untuk memperkenalkan kepada masyarakat di AS olah raga yang banyak dikenal di Asia dan di Eropa,'' lanjutnya.
O’Donnell mengakui, setiap harinya sekira 3000 penonton datang ke tempat pertandingan, dan diharapkan jumlah ini akan meningkat menjadi 5000 orang saat memasuki babak semifinal dan final.
(www.pikiran-rakyat.com/dari berbagai sumber).
Sumber:
http://ubt.unit.itb.ac.id