Ajang Piala Sudirman 2017 menjadi konfirmasi semakin meratanya kekuatan bulutangkis dunia. Meskipun, sejatinya kekuatan tradisional masih menjadi penguasanya adalah Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Thailand, Denmark, Malaysia dan (seharusnya) Indonesia. Kekuatan yang seolah-olah baru seperti India juga mulai menebar ancaman serius. Begitu pula dengan kekuatan baru seperti Taiwan.
Artinya, perlu ada pola pikir baru bahwa tidak ada lawan yang selamanya tak terkalahkan. Siapa yang lebih pintar, maka itulah calon pemenangnya. Mental menjadi faktor terpenting saat ini selain fisik - di luar kemampuan teknis yang saya rasa sudah seimbang. Persoalan mental tidak harus diartikan yang memiliki semangat inferior adalah yang bermental buruk, tapi yang bermental superior berlebihan adalah masalah mental juga.
Saya berpikir, pemain dengan kemampuan teknik di level teratas lebih memerlukan banyak simulasi krisis. Entah bagaimana caranya, tapi ini tugas pembina untuk memformulasikannya. Dengan seringnya pemain menghadapi situasi krisis dan kritis, diharapkan akan terbiasa ketika menghadapi situasi serupa di lapangan - baik ketika dalam posisi unggul maupun tertinggal.
Ajang Piala Sudirman 2017 membawa banyak pelajaran. Paling tidak, baik pengurus maupun pemain dituntut untuk meningkatkan kecerdasannya. Bulutangkis sekarang tidak sekadar menuntut kemampuan teknis atau bakat, tapi Otak dan Mental. (moemoe)